Blogger Template by Blogcrowds and Blogger Styles

.

Tai Minya Nasionalisme Minahasa

Oleh M. Korengkeng

Kami memang berbeda. Berbeda, relatif terhadap bangsa-bangsa lain yang bersepakat bersatu dalam abstraksi Indonesia. Kami punya syarat-syarat keras dan lunak untuk disebut bangsa, nasion. Perhatikan tanah dan masyarakat kami. Lihat kepercayaan kami. Kalian niscaya mendapati perbedaan itu. Ada masa, putraputra kami bahkan menjadi tentara terbaik carteran maskapai kolonial. Ada waktu, sekolah dan siswa kami belasan kali lebih banyak dari Batavia – meski penduduk kami hanya seperlima kota yang kelak jadi ibukota negara itu. Pandang pula cara kami berpakaian, cara kami bertutur, cara kami makan, tindak-tanduk kami…

Saya mesti berhenti dengan daftar fakta-fakta terpilih ini. Melanjutkannya mestilah membuat Anda semakin sulit membedakan saya dengan pria jahat berkumis lucu yang mengagungkan keunggulan ras Aria itu, atau, pada kadar tertentu, dengan wakil presiden kita yang kadang terkesan “anti cina” itu.

Baiklah. Kekristenan yang dikenalkan kolonialisme membantu membentuk sukarela salah satu ke-esa-an kami. Kesatuan sebagai sebuah masyarakat terbayang, sebuah perceived community Andersonian. Pembaratan, yang juga dikenalkan kolonialisme, sempat menjadi inspirasi segelintir orang untuk mendorong tanah air kami menjadi Twaalf de Provincie, propinsi ke-12 Belanda. Pembaratan serupa pula yang menebalkan keputusan sebagian (besar) orang kami berpihak pada kekuasaan kolonial. Tahun 1829, saat perang Jawa menjelang kehabisan nafas, 800 orang kami direkrut untuk menghantam Diponegoro. Selanjutnya, ribuan putra-putra kami yang lain dijaring untuk memenangkan perang Aceh, membantu menancap kuku kolonial disana.

Sepah-sepah pembaratan itu sebagian masih berbekas hingga kini: buku-buku panduan wisata mengkategorikan restoran-restoran kami paling bersih; minggu pagi jalanjalan menuju gereja tak jauh beda dengan arena mode wewene-wewene Minahasa; kami biasa berekspresi; kami kosmopolit; elit kami gemar berpesta; kami mengomentari apa yang perlu diberi catatan; buta huruf di tanah kami paling rendah di republik ini; terma-terma semisal “binaut”, “maar”, atau “untersuk”, kami comot dari sumber asli tanpa banyak perubahan bunyi. Ada sisa-sisa bahwa kami bangsa para pendidik, para birokrat, para administrator, para klerkenproletariaat.

Tapi pembaratan itu sempat pula menumbuhkan tunas yang lain, seperti lahan padi ditumbuhi ilalang yang tak dikehendaki. Pemberontakan yang digelorakan kaum republiken Minahasa dalam KRIS (Kebaktian Rakjat Indonesia Sulawesi) di kota-kota di Jawa melawan Belanda melemahkan tesis KNIL yang dilekatkan atas Tou Minahasa diatas. Munculnya gereja nasionalis KGPM (Karapatan Gereja Protestan Minahasa) menjadi antitesa dari GMIM (Gereja Masehi Injili Minahasa) yang dulu menjadi antek Belanda.

Hal lainnya, sempatkan pergi ke Gramedia Manado, ambil waktu mencari buku kecil bersampul komik berjudul “Perang Tondano”. Buku itu bercerita pemberontakan heroik petani Minahasa melawan tipu-muslihat VOC, ekonomi baru (kolonial) berdaya saing tinggi dan kerja-paksa berorientasi ekspor. Meski tak seluruh isi buku itu benar, imajinasi didalamnya, saya kira, mestinya membuat dia layak menempati rak buku disamping koleksi Harry Potter atau buku-buku “teologi beras”.

Sayang pembaratan itu, yang semestinya bergandengtangan dengan pencerahan, dengan hubunganhubungan masyarakat yang baru, rupanya saat ini tidak banyak menyisakan masyarakat Minahasa yang berani, yang berinisiatif, yang menghargai kerja, yang teguh dengan nilai-nilai liberal. Semoga saya tidak keliru, Orde Baru nyaris sepenuhnya meluluhlantakkan sisi, wajah, dan warisan baik pembaratan itu.

Lalu nasionalisme macam mana yang hendak kita bicarakan dari potong-potong kenyataan diatas? Atau, karena berbicara bangsa Minahasa, etno-nasionalisme yang bagaimana? Biasanya pertanyaan serupa ini sering diungkap gundah kala tidak ada putra Minahasa jadi menteri. Mungkin juga, pertanyaan itu muncul kembali penuh gereget ketika satu dua gereja dibakar atau saat harga cengkih jatuh. Hari-hari ini, barangkali ia terselip diantara lembaran-lembaran MoU – yang sangat “federalistik” itu – antara GAM dan Pemerintah RI.

Tema nasionalisme dan Minahasa membawa saya ke pertarungan teoritik yang ramai, seramai sabung ayam yang pura-pura digerebek di daerah-daerah Minahasa agar cukongnya menaikkan setoran. Ada petarung-petarung hebat di medan teori itu, meski tak semua jurus ampuh pun memadai memenangkan penjelasan utuh atas tema ini. Analis Marxis, misalnya. Dalam hal nasionalisme, penyatu lapis sosial bernama “kelas” barangkali bukanlah penjelas tunggal untuk mengurai representasi kepentingan yang bisa tumpang tindih atas nasion. Pemberontakan petani bersenjata berbendera PERMESTA di gununggunung Minahasa, misalnya, adalah lebih sulit diredam, dan terus berlangsung bertahun-tahun, bahkan ketika Manado sudah jatuh, dan pemimpin (opportunis?) mereka mengangkat bendera putih.

Pada tingkat tertentu, begitu analisa David Henley, harga diri sebagai bagian dari bangsa, nasion, Minahasa menjelaskan militansi petani tersebut. Perhatikanlah: sampai sekarangpun, terkait dengan “Minahasa”, dapat dimengerti mengapa anak-cucu petani-petani tersebut sangat bangga dengan warisan sejarah ini. Meski kesadaran heroik itu tidak jarang sering dimanipulasi oleh brigadebrigadean, walak-walak (jadi-jadian) atau oleh elit-elitan, yang gemar makan untung serta merugikan collective interest petani Minahasa secara tak langsung.

Kendatipun begitu, baik para pendekar Weberian atau lulusan perguruan post-modern mestilah tak segera petantang-petenteng melancarkan jurus-jurus keutamaan partikularitas. Kekhususan suku sebagai contoh. Salah satu cara mengujinya: Bagaimana menjelaskan intelektual sewaan (asal) Minahasa yang berselubung “ilmuwan” mampu berkomplot dengan birokrat dan koruptor (asal) Jawa untuk melogamberati laut Minahasa di Buyat? Atau birokrat Minahasa yang bersama-sama makelar (asal) Jawa membenarkan penentuan nilai air PDAM Manado mengemis budi baik mekanisme pasar? Dalam aliansi tidak suci ini, menyeruak bentuk-bentuk lintas suku.

Di lain waktu, diajukan tema nasionalisme lalu mencoba mempertautkannya dengan Minahasa, pikiran saya malah melayang pada Sangihe dan Talaud. Pada “imperialisme” Minahasa atas kawasan ini sejak Landstreek van Manado diteguhkan. Lalu, pada disain spasial bernama KAPET Manado-Bitung yang meneguhkan keterbelakangan relatif SaTal melulu sebagai pinggiran. Terus, pada teguhnya kebiasaan korupsi lebih dari 50 persen dana pengembangan SaTal (oleh birokrat Minahasa di Manado). Rupanya, eksploitasi tidak hanya mengambil bentuk pusat-daerah, jawa-luar jawa, kawasan barat-timur atau penggolongan-penggolongan membosankan itu. Berdiskusi nasionalisme Minahasa, penting memperhatikan aspek yang sering pura-pura dilupakan ini.

Yang hampir pasti adalah bahwa Minahasa detik ini adalah Minahasa yang menyejarah. Satu bentuk entitas kompleks yang meruang dan mewaktu. Begitu pula kesadaran atas “nasion”nya, atas nasionalismenya. Ia antara lain menyaksikan – dan turut dibentuk – oleh perang antar walak memperebutkan kapling-kapling sumberdaya, eksploitasi di bawah kolonialisme, wacana etno-nasionalisme plintatplintut ala Sam Ratulangi, muslihat internasionalisme palsu elit-elit PKI, tipu daya petinggi angkatan darat berselubung pembangunan daerah PERMESTA, konsepsi kurang beres negara unitarian Suharto. Yang paling mutakhir, Minahasa mungkin cermin dari konstruk desentralisasi-pasar dan Otda neoliberal yang digadang Bank Dunia dan IMF.

Musti banakal sadiki

Bisa dipahami bila Tou Minahasa kecewa dengan kekinian kondisi Minahasa – ekonomi, politik, sosial-budaya. Kecewa dengan pencapaian-pencapaian luar biasa yang kemudian hilang itu. Juga, yang tak kalah penting, kecewa sekaligus kesal dengan persatuan sukarela dan kesepakatan-kesepakatan berbangsa yang lalu sekarang dikhianati. Saya akan ambil satu dari sekian banyak sisi diskusi tentang kekecewaan itu. Kiranya jelas bagi siapapun, terkait Nasionalisme Minahasa, jawaban atas kekecewaan itu tidak pernah diberi gratis diatas nampan perak. Seperti hal lain di bawah kolong langit, ia membutuhkan kerja keras – hal mana mungkin makin langka di Minahasa. Juga, keteguhan usaha menemukan terus “persoalan utama” Minahasa termasuk siapa-siapa yang mampu bekerja dalam, dan setia untuk, pencarian jawaban itu.

“Pada saat-saat ia menemukan bentuk, nasionalisme Minahasa diartikulasi oleh pelayan gereja dan negara”, demikian David Henley (1996) menulis salah satu pokok disertasinya, “tidaklah pernah [artikulasi tersebut] oleh sebuah gerakan massa atau instrumen penting dari mobilisasi politis”.

Perihal (yang diangkat) Henley ini penting untuk setidaknya memberi terang mengapa, misalnya, saat melakukan paparan pada pertemuan INFID di Tomohon 2 tahun lalu, Bert Adrian Supit, tetua Ornop Sulut itu, berakhir kebingungan mengejar ekor mimpi federalismenya sendiri. Ia berguna pula untuk keperluan diskusi mengapa ketika democratic space dibuka sedikit, “otonomi” daerah menghasilkan pembelahanpembelahan, beranak pinak wilayah-wilayah politis secara tak karuan membonceng libido elit dan parasit baru (dengan fam-fam asli Minahasa).

“Torang musti banakal sadiki kwa!”, usul seorang analis (asal) Minahasa di sela-sela rehat minum teh sebuah seminar tentang pelabuhan internasional Bitung. “Lia jo Aceh, biar nda war-war mo jadi pelabuhan internasional, mar Sabang bole dapa. Sementara Bitung apa…?”, lanjutnya dengan suara pelan, nyaris berbisik, khawatir terdengar.

Saya menangkap maksud baik dia: Sudah waktunya Minahasa menaikkan daya tawarnya.

Kaum muda, generasi baru

Minahasa harus “merdeka”! Secara ekonomi, politik, sosial, budaya, ekologi! Sesegera pekik itu berakhir, realitas lantas menyuguhkan paket kerja keras untuk digumuli. Siapa yang berani menerima tawaran ini? Menggumuli pilihan bekerja keras?

Benar. Barangsiapa yang akrab dengan dinamika politik Sulawesi Utara mungkin sepakat bahwa pergumulan itu terlampau berat untuk dipikul para alumnus GOLKAR atau mereka yang pernah magang atau terinspirasi tingkah dan laku oportunis aparatus politik ini. Ada yang sepakat bahwa tugas itu akan jauh lebih enteng andai diemban kaum muda Minahasa.

Kaum muda Minahasa macam mana?

Generasi baru yang menikmati membaca dan menghargai ilmu. Mereka berpikir bebas. Satu tindak dan tuturnya. Tidak korup. Karena diri bukan untuk digadai, mereka teguh atas pilihan-pilihannya, atas kata-katanya, sebagaimana laki-laki Minahasa dulu bertarung. Bukan cuma gelisah dengan jamannya, anak-anak muda itu mau mengorganisir diri dan menyingsing lengan baju, bekerja keras. Mereka tidak hanya bekerja di bawah alternatif tersedia, tapi selalu melihat celah menciptakan alternatif baru.

Pada penulis, seorang tamang yang kecewa pernah membuang beberapa penggal kalimat berikut: “…apa yang bisa diharap dari anak-anak muda [Minahasa] itu. Cuma ikoiko, iyo-iyo, seperti kumpulan ternak”. Siapapun yang marah dengar kalimat itu, tentu bukanlah ternak.

Putus asa bukanlah absolut. Tapi marah juga belumlah cukup. Sidang pembaca Nga´asan yang terhormat, saya melihat tamang itu secara mendua. Pertama ia keliru. Atau, tidak sepenuhnya tepat. Dalam rentang 5 tahun pasca-Suharto, Minahasa menyaksikan kemunculan anak-anak mudanya yang bukan cuma memiliki kapasitas analitik yang baik, juga keberanian mengambil pilihan berbeda dibanding sebayanya – Sandra Rondonuwu di UKIT, atau Nadya Sumampow dan Freddy Wowor di UNSRAT, juga Andre Mongdong di UNIMA, untuk menyebut beberapa wakil terbaiknya. Anak-anak muda ini tentu tidak sepenuhnya benar, tapi gairah yang mereka miliki mungkin mampu memindahkan gunung Klabat.

Sayang, seiring waktu, generasi anak-anak muda itu hilang ditelan angin. Tapi, disini tetap satu hal bisa kita simpul: dari ketidakpedulian separah Minahasa ternyata mampu memunculkan orang-orang muda ini, bukan hanya siklus reproduksi orang-orang bebal. Sebagaimana juga kolonialisme telah melahirkan anak-anak tak dikehendaki itu – Sukarno, Sjahrir, Hatta, Tan Malaka atau Ratulangi sendiri.

Kedua, pernyataan tamang itu bisa jadi benar. Diantara kerumunan mimpi menjadi PNS, hiruk-pikuk Nyong-Noni Sulut, atau kedangkalan fantasi telenovela dan Indonesian Idol, kerja menyisir pemuda-pemudi semacam mereka adalah serumit menelisik jarum di tumpukan jerami.

Pada akhirnya, Minahasa tanah tercinta itu (meminjam ekspresi subversif Graafland) bisa berdaulat lalu jadi “besar” dan berdiri setara atau menjadi tak lebih dari sekadar titik di utara Celebes, tanpa peran apa-apa.

Tai minya? Ini perihal memilih. Dan bekerja.


- Diambil dari "Tai minya (etno) nasionalisme Minahasa", Jurnal Nga'asan, nomor 3, September 2005.

Oleh: Andre GB

(Surat terbuka untuk Sonny Mumbunan)


jus, ngana dulu salalu bilang
barmaeng jo dalang ruma
karna ini yang mo jadi tampa basambunyi
kalo ujang ta sopu

mar, dari abu yang tatarbang anging paka
qta dapa cirita
kalo bukang cuma tu seng ruma
yang bole mo jadi payung
kalo panas basingga lama

karna masi ada langit pe loas
yang bole jadi blangket waktu tong tidor

dulu le ajus kurang ja se inga trus
jang lupa sebersi tu kintal di muka
karna itu tana yang mo jadi tampa for torang
mo tidur nanti, kalo opo empung so pangge

mar, dari abu yang tatarbang anging paka
qta dapa cirita
kalo bukang cuma tu tana spanggal tong pe tampa
mo kubur akang, kalo nanti so tutu mata

karna masi ada lao pe loas
yang bole jadi peti nanti pas tong mati

cuma komang,
ada satu yang dulu ajus ja bilang
qta anggap butul sampe skarang
“jang lupa, inga pulang kalo so abis barmaeng”

Juli 2008
(PULANG, Andre GB dalam Reggae Untuk Kenangan)

Seringkali ketika kita melihat dari kejauhan, kehilangan akan detil adalah timpal yang sepadan. Dan keterjebakan dalam hal seperti itu tak terlalu terasa. Beberapa orang bahkan merasa nyaman dan cukup untuk melihat dari kejauhan. Sedang bagi sebagian kecil orang, hal itu tak dapat ditolerir. Mendekat, masuk dan mengalami pasang surut adalah cara untuk melihat seberapa dominan ego kita berkuasa. Menyentuh lalu terlibat dalam jalinan emosi justru menghadirkan sensasi rasa yang lebih dari sekedar kita berada di kejauhan jarak dan menjustifikasi sesuatu. Pembukaan ini adalah sebuah contoh. Betapa kadang merumitkan persoalan yang gampang dan melakukan sebaliknya terhadap persoalan yang pelik menjadi kebiasaan umum banyak individu. Apalagi jika label “intelektual kalangan atas” mengharuskan kita mempunyai strata berpikir di tingkat tertentu dan tak ingin jika derajat itu direndahkan. Apakah ini bisa dikategorikan “feodalistik”?

Itu semua belum ditambah dengan kebiasaan pendidikan kita yang membuat orang-orang diharuskan objektif seobjektif mungkin. Sebisa mungkin melihat dari “berbagai sisi” dan mengeliminasi cara pandang subjektif yang telah divonis “tak objektif”. Ini adalah sistem jagal yang dicipta dengan sengaja yang menurut saya membuat invidu kehilangan “identitas”nya. Meleburkan diri hingga tak tersisa kentalnya yang membuat kita hidup dan memberikan sumbangsih maksimal menurut kemampuan masing-masing di tengah-tengah perbedaan yang telah menjadi kodrat dalam kehidupan umat manusia. Saya sering menyebut hal ini dengan sepotong kata. HOMOGENISASI. Tradisi berpikir yang telah diwariskan dan dijaga kelangsungan hidupnya oleh sebuah struktur kekuasaan besar yang juga saya namakan dengan NEGARA.

Dan keterkejutan saya bertambah ketika seorang Sonny Mumbunan, Kandidat Doktor Ekonomi di Universitas Leipzig Jerman yang juga adalah seorang putra Tonsea-Minahasa, lahir dan menghabiskan sebagian besar riwayat hidupnya di Aermadidi, Minahasa Utara melempar tanya kepada saya yang meski “menumpang” lahir di Manado, kuliah di Manado kemudian mengawini seorang perempuan Minahasa yang lahir dan besar di Totabuan, tapi runutan leluhur saya tertulis di Karatung, Nanusa di utara Indonesia. Sebuah “never land” menurut Dean Joe Kalalo dan Witho B. Abadi dalam beberapa canda gurau mengusir penat.

“Minahasa pe nilai apa?”

Wajar menurut saya jika kaget menjadi yang pertama. Sebab selain saya bukanlah orang Minahasa secara darah dan runut riwayat, adalah sebuah keanehan yang “maha” jika seorang Minahasa bertanya tentang nilai ke-Minahasa-annya kepada “orang luar”. Saya kemudian teringat dengan sebuah jawaban Greenhill Weol ketika menjawab pertanyaan yang sama yang lahir dari seorang aktivis KELOLA dan WALHI (saya tak tahu nama lengkapnya, tapi dia akrab di panggil dengan “Mner Oda”) Pertanyaan ini muncul di sela-sela diskusi sastra untuk “menyambut” sastrawan S. Ito yang datang ke Manado dalam rangka pengumpulan berbagai data yang akan digunakan membantu penyelesaian novelnya yang terbaru. Diskusi ini diselenggarakan oleh komunitas Lipu Kobayagan. Adalah sebuah “kebetulan” jika tempat diskusinya di kantor WALHI Sulut.

“Minahasa tidak dapat mengakui anda. Justru sebaliknya. Anda yang harus mengakui Minahasa.”

Tapi semua tak serta merta selesai. Pertanyaan Mner Oda dan Sonny Mumbunan di atas adalah wakil dari mayoritas pola berpikir orang-orang yang berada di sekitar geliat Mawale Movement.

“Kenapa menggunakan Mawale yang adalah kata dari Minahasa? Kenapa tak menggunakan kata lain?”

“Mawale adalah gerakan budaya Minahasa. Untuk apa orang-orang non-Minahasa terlibat di dalamnya?”

“Apa maksud kalian dengan identitas?”

“Nanusa, Suwawa, Gorontalo, Minahasa itu apa?”

“Benarkah Mawale adalah gerakan rasis Minahasa?”

“Siapa pucuk pimpinan Mawale Movement?”

Itu adalah beberapa pertanyaan yang disampaikan oleh banyak orang di berbagai kesempatan jumpa dan tidak kebetulan jika saya masih terus mengingatnya. Saya berusaha dengan sengaja terus menjaga agar rekaman ini tetap awet demi mengantisipasi kerikil penghalang di kelokan berikut. Dan pertanyaan-pertanyaan di atas, tak berusaha saya jawab agar para penanya kemudian puas. Tidak. Saya hanya berupaya sekali lagi menjelaskan dari sudut pandang seorang pribadi yang ikut meramaikan Mawale Movement. Seorang Nanusa yang sementara belajar di tengah keramaian orang-orang muda Minahasa yang juga belajar.

* * *

Saya tak sendiri. Masih ada seorang Fajran Lamuhu yang adalah orang Suwawa. Bangsa yang selama ini tak terdengar gaungnya karena melebur hilang dalam “nama besar” Gorontalo. Bukan kebetulan jika hanya kami berdua yang aktif terlibat dalam gerakan Mawale. Berasal dari kolektif seni yang sama yakni Kolektif Kerja Budaya Rakyat (KKBR) Manado. Kelompok bukan orang-orang pintar, tapi kumpulan orang-orang yang mau dan terus belajar. Bukan untuk mengejar kesempurnaan. Tapi membuat “hidup lebih hidup”. Berdua, kami belum lama. Masih “junior” jika mengikuti tradisi “baik” organisasi-organisasi dengan kompleksitas struktur dan kekuasaan yang melilit di dalamnya.

Terus mencari tahu sembari menyingkap berbagai “selimut kebenaran” sejarah yang terlanjur absolut dan tak boleh dibantah lagi, membuat kami berdua menemukan banyak fakta “baru” yang sebenarnya sudah usang namun selama ini tersimpan rapi dalam lemari “sejarah penguasa”. Bagian-bagian yang tak boleh di komsumsi publik?

Saya nanti mengetahui fakta historis bahwa bangsa Suwawa tidak dan tak bisa menari Saronde setelah Fajran menyelesaikan skripsinya. Penelitian pribadi tanpa sponsor. Cukup lama Fajran merampungkan skripsinya. Pulang ke Suwawa dan mencari tahu penggalan ingatan historis yang hilang. Satu kali mocari tau sapa qta. Sekalian mencari tahu siapa dirinya. Itu statement pendeknya. Saya secara subjektif menganggap ini adalah “ber-Identitas”.

Sedang saya, karena berbagai keterbatasan hanya melakukan “ritual” bolak balik ke Karang Ria, Tuminting di Manado Utara untuk berdiskusi dan tanya hal-hal kecil tentang Nanusa kepada setiap orang yang baru datang dari kampung halaman. Maklum, sebentar lagi saya akan merayakan “HUT ke 5” lamanya tidak pulang ke Nanusa. Bagi orang-orang yang merantau, tentu tahu bagaimana rasanya rindu dengan “rumah”.

Sedangkan Fredy Wowor, Greenhill Weol, Denni Pinontoan, Bode Grey Talumewo, adalah bagian kecil dari bagian besar orang-orang muda Minahasa yang juga aktif di Mawale Movement. Beberapa di antaranya bahkan telah lebih dulu bergiat di dalam gerakan Mawale. Mereka juga melakukan hal yang tak jauh berbeda dengan apa yang sementara saya dan Fajran lakukan. Bedanya, rumah mereka tak jauh. Justru mereka berada dalam rumah itu. Saya terkadang iri dengan mereka.

Saya dan Fajran juga pernah dijejali tanya seperti pertanyaan-pertanyaan di atas menyinggung seputar keterlibatan kami berdua di Mawale Movement. Ada yang bertanya sebatas ingin tahu, ada juga yang menghakimi dan memvonis secara sepihak bahwa adalah sebuah kesalahan “bergabung” dengan orang-orang Minahasa yang selama ini “menindas” Nanusa dan Suwawa. Benarkah? Saya memaklumi jika kemudian vonis itu lahir dan mendera. Itu hal yang wajar jika kita merunut sejarah dan mental serta pola berpikir yang selama ini dicangkokkan kepada seluruh individu atas nama BANGSA INDONESIA.

Pada akhirnya menjadi sebuah keharusan jika sebuah kelompok “harus ber-struktur”. Itu adalah salah satu syarat mutlak. Harus ada pemimpin dan yang dipimpin. Ada pusat dan ada pinggiran. Ada hulu dan harus ada hilir. Harus ada bos dan anak buah. Atasan dan bawahan. Harus ada struktur, agar ada “description of power”. Benarkah harus ada sentralisme? Haruskah?

Mungkinkah ada alternatif lain? Di mana tak ada struktur, hingga membuat kita sebisa mungkin menjauhkan diri dari pembagian kekuasaan yang membuka potensi konflik karena kecenderungan kekuasaan yang korup dan menindas? Adakah ruang untuk melakukan “description of job” tanpa harus melakukan sub-ordinasi? Mungkinkan pijar itu menyala di berbagai titik tanpa harus “dikumpulkan dengan penaklukan”? Mungkinkah Nanusa, Suwawa dan Minahasa mampu hidup berdampingan tanpa harus ada salah satu kebudayaan yang menjadi tuan?

Keagungan sejarah Sriwijaya dan Majapahit yang kental dengan sejarah penaklukannya dan kemudian di gembar-gemborkan sebagai semangat Nasionalisme Indonesia secara sadar dan sistematik di ciptakan sebagai upaya mendidik pola berpikir, berbicara dan bertindak yang ekspansionis, kolonialis, anti-humanisme, dan homogenistik di tiap individu. Hal inilah yang kemudian mendorong kecenderungan setiap individu untuk “men-struktur-kan” segala sesuatu. Dan kemudian jika ada abornormalitas seperti yang sedang terjadi di Mawale Movement, maka hal itu termasuk dalam kategori “tak bisa diterima”. Semangat nasionalisme berbasis pada Majapahit inilah yang kemudian melahirkan spirit penaklukan sebagai spirit hidup orang Indonesia.

Semangat Nasionalisme Indonesia juga membuat orang berhamba pada objektivitas dan mengeliminir subjektifitas. Segala sesuatu yang dilakukan haruslah demi kepentingan “nasional” bernama Indonesia. Jika ada hal-hal di luar koridor itu, maka kategorinya adalah “lokal” dan bukan “nasional”. Sebabnya, karena yang bisa disebut “nation” dari Sabang sampai Merauke adalah Indonesia. Bukan Nanusa, Minahasa, Suwawa, Banjar, Batak, Aceh, Papua, Jawa, Dayak, Sunda, Madura dan masih banyak lagi jika harus dirunut satu demi satu. Jika masih ada “lokal-lokal” yang tetap lantang bicara tentang “nasionalisme” mereka, maka tidak mungkin kategori rasisme melekat menjadi kemungkinan terbesar.

Mawale Movement sebagai sebuah kolektif kerja tanpa struktur dan pembagian porsi kekuasaan menjadi hal sulit di terima akal sehat banyak individu yang masih terilusi dengan kebenaran sejarah penguasa. Percaya bahwa ada kemungkinan setiap kebudayaan dari tiap “nation” duduk sama tinggi, dan berdiri sama rendah serta saling bersolidaritas dalam rangka upaya meningkatkan kualitas masing-masing. Sebagai seorang individu maupun sebagai anak masing-masing bangsa.

Seorang Vicks Chenorre menganggap saya dan ke-Nanusa-an saya tersubordinasi di bawah Fredy Wowor dan Greenhill Weol dengan ke-Minahasa-an mereka. Hanya ketika saya menerima kata Mawale sebagai penanda gerakan kebudayaan yang sedang kami geluti. Nama yang lahir sebagai sebuah salah satu titik berangkat masing-masing kami untuk berjalan di jalan masing-masing dalam sebuah ikatan yang tak tampak riil bagi orang lain. Ikatan solidaritas antar masing anak bangsa-bangsa yang sekian lama di paksa menerima kenyataan bahwa kami “harus sama” dalam semangat “nasionalisme” Indonesia. Menjadi soal yang mungkin mendasar bagi beberapa orang menyoal nama Mawale yang “identik” dengan Minahasa.

Tapi banyak orang tak tahu bahwa Mawale bukanlah frase asing bagi saya. Kata wale sendiri memang berarti rumah buat kami di Nanusa. Hanya saja, cara penyebutan yang membuat tiap kata terdengar beda. Perbedaan dialek membuat bunyi yang dilafalkan menjadi berbeda. Adaptasi dan pemaknaan baru Mawale sebagai identifikasi gerakan kebudayaan kami yang baru seumur jagung yang berarti pulang ke rumah, membuat saya menemukan pemaknaan yang sama. Mawale bukanlah upaya untuk sekedar mengangkat mentah-mentah kebudayaan lama kemudian menempatkannya di tempat yang absolut dan tak bisa di ganggu gugat. Justru sebaliknya, Mawale adalah sebuah proses dan usaha yang masih terus berlangsung dari kami semua untuk memaknai kembali kebudayaan. Kebudayaan masing-masing. Bukan hanya satu kebudayaan.

Oleh karena itu, adalah sebuah kesalahan fatal jika mengindentikkan Mawale Movement sebagai gerakan kebudayaan Minahasa. Tidak! Mawale berada di ranah yang lebih luas dari Minahasa. Mawale adalah sebuah spirit kesadaran identitas, kesadaran historis, kesadaran untuk terus belajar dan mengembangkan diri, kesadaran untuk menyesuaikan dengan kondisi zaman, kesadaran untuk mulai berbuat dari sekedar menunggu datangnya bala bantuan dari para Mesias, kesadaran untuk berani memberikan ruang hidup kepada perbedaan. Bukan sebagai sesuatu yang harus dibenturkan dan saling menaklukkan, tapi kesadaran untuk saling mengisi dan menumbuhkan potensi masing-masing demi kemajuan peradaban dan kebudayaan masing-masing bangsa. Mawale adalah sebuah spirit global.

Ketika salah satu esai saya (Kebangkitan Nasional, Saatnya Membubarkan Indonesia) di posting di situs jejaring sosial Facebook sebagai sebuah catatan, kawan Sonny Mumbunan menanyakan apa makna identitas sebagai bagian dari runutan komentar yang sangat panjang. Dan saya tak menjawab hal itu dalam batasan tertentu, karena ketidakinginan saya secara pribadi untuk menjebakkan diri pada pendefinisian (atau postivistik) yang membuat batasan-batasan semu namun dipaksakan riil untuk melihat sesuatu dari “jauh.”

Sebuah contoh saya coba suguhkan. Namun ini bukanlah contoh absolut. Semuanya masih bisa dibantah (atau didiskusikan jika menurut ingin saya).

Jauh sebelum peradaban Eropa membawa ke-Kristen-annya dan pedagang Gujarat, Persia dan Arab membawa ke-Islam-annya dan datang ke daerah Utara Celebes (Nusa Utara, Minahasa, Totabuan, Hulondalo), masyarakat di daerah ini telah memeluk kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Keyakinan bahwa ada sebuah kuasa yang jauh melebihi kemampuan manusia. Dan semuanya itu diwujudkan dalam ibadah-ibadah mengucap syukur dengan menyembah batu-batu besar, pohon-pohon, roh-roh halus, guntur, kilat, hujan dan lain-lain. Pada masa ini, agama-agama benar-benar ditempatkan sebagai sebuah bagian yang tidak bersangkut paut dengan kekuasaan.

Namun, agama-agama rakyat yang saat itu telah hidup dan mewarnai geliat masyarakat di anggap alifuru dan belum beradab karena bangsa-bangsa di Utara Celebes saat itu, belumlah memeluk agama modern seperti keyakinan mereka. Pendefinisian dalam batas-batas kaku yang pada akhirnya mendorong terjadinya homogenisasi kepercayaan hingga terjadinya homogenisasi kebudayaan. Yang belum memeluk agama Islam dan Kristen dianggap kafir dan tak akan mendapatkan surga. Benarkah pendefinisian atau pelabelan seperti contoh di atas?

Contoh berikut adalah ketika Colombus menemukan benua Amerika yang tidak pernah hilang. Bangsa-bangsa penghuni asli di benua Amerika dilabeli sebagai bangsa Indian. Artinya adalah orang-orang India. Apache, Cheyenne, Maya, Aztec, Inca dan masih ada bangsa-bangsa lain, di subordinasi dalam nama suku berbangsa Indian. Dan hingga kini, kesalahan kecil seperti itu masih terus di pelihara bahkan oleh dunia intelektual. Dunia positivistik. Dunia penuh kategori, penuh batasan mati, dunia penuh definisi kaku.

Saya justru akan bertanya kembali kepada semua yang membaca tulisan ini. Bagaimana jika kasus genosida kebudayaan yang dialami oleh bangsa-bangsa asli di Amerika berbalik menimpa kita? Apakah kita akan terus diam dengan kebohongan-kebohongan intelektual yang telah menjadi prima dan tak boleh terbantahkan lagi? Apakah orang-orang Minahasa harus terus dalam mitos Riedel & Schwarz bahwa Minahasa adalah bangsa keturunan incest? Apakah orang Suwawa harus dipaksa menari Saronde karena generalisasi dengan Gorontalo? Apakah Nanusa hanya dikenang sebagai kumpulan perompak di lautan?

Melihat dan mencoba belajar dari hal-hal kecil seperti di atas membuat saya tidak ingin melihat segala sesuatu kemudian memberikan batasan absolut yang menjustifikasi segala sesuatu di luar keyakinan adalah salah dan tak mempunyai ruang hidup. Tidak.

Ketikapun saya memposting dua buah catatan pendek di Facebook (sebuah puisi dengan judul Pepatah Di Manado, dan sebuah cerpen dengan judul Cemilan Untuk WOC) dalam rangka menyambut WOC yang sedang berlangsung meriah di Manado kemudian menuai respon berbeda dari beberapa teman, saya tak menganggap komentar-komentar yang berbeda sudut pandang adalah salah. Justru sebaliknya. Ketika ada perbedaan yang hadir dalam melihat sebuah titik, inilah saatnya untuk melakukan dialog. Bukan dalam semangat untuk menyatukan perbedaan-perbedaan itu, tapi justru sebaliknya. Dialog antar peradaban adalah untuk saling mengerti dan memahami kemudian hidup berdampingan tanpa harus saling mengeliminir satu dengan yang lain. Berupaya saling mengenal demi peningkatan kualitas masing-masing peradaban. Tidak dengan saling menundukkan.

Menyoal melihat kebudayaan juga saat ini menjadi masalah. Kami yang berada di lingkaran Mawale Movement yang kemudian oleh beberapa orang di anggap kelompok tertutup dan terbatas, tidaklah melihat Nanusa, Suwawa, ataupun Minahasa sebagai sebuah yang statis. Diam dan mati. Sebaliknya, kami melihat bahwa Nanusa, Suwawa, Minahasa dan semua bangsa lain itu hidup dan terus berproses. Nanusa, Suwawa, Minahasa dan bangsa-bangsa sejati tidaklah sebatas teks yang kemudian diberikan definisi oleh individu dari kalangan tertentu. Bangsa adalah sebuah kesatuan hidup yang terus menerus berkembang, berproses dan melakukan pencarian dan penemuan terhadap nilai-nilai hidup. Entah dengan mendekonstruksi nilai lama kemudian memaknainya secara baru, ataupun dengan melakukan adaptasi, akulturasi dan asimilasi.

Dan dalam perjalanannya, setiap bangsa dengan peradabannya mempunyai grafik yang tentulah tidak menanjak setiap saat. Semuanya tergantung dari setiap individu yang berada di dalam bangsa tersebut. Setiap anak-anak dari tiap peradaban memikul tanggung jawab dan tugas yang sama beratnya. Salah satu faktor ini yang kemudian membuat setiap dari kami yang datang dari berbagai latar belakang yang beragam kemudian menjadikan Mawale sebagai ruang sempit untuk berdialog di tengah dunia yang tak lagi merestui perbedaan.

* * *

Mawale Movement bukanlah satu-satunya jalan keselamatan. Kami bukan gerombolan Mesias. Tapi, Mawale adalah satu dari sekian banyak jalan untuk pulang ke rumah. Mendapati kembali sanak saudara dan tanah yang hampir hilang terenggut oleh kehilangan kami secara individu. Mawale hanyalah sekedar upaya untuk mencoba kembali pulang dan memperbaiki genteng-genteng rumah yang bolong maupun hancur karena terpaan ekspansi dan upaya kolonialisme dari peradaban lain yang merasa lebih. Mawale hanyalah sebuah upaya untuk memberi warna baru bagi rumah kami yang kusam dihantam sejarah yang timpang. Ini hanya sebuah spirit yang tidaklah mungkin hanya boleh dimiliki oleh kami. Mawale adalah milik semua orang yang ingin pulang ke rumah. Ke tempat di mana kita berasal. Dari bermula.

(Steleng Mawale, Tomohon, Mei 2009)

Oleh: Greenhill Glanvon Weol

…Kau tak akan pernah memahami sesorang hingga kau melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya… hingga kau menyusup kebalik kulitnya dan menjalani hidup dengan caranya…
To Kill a Mockingbird, Harper Lee


Dunia teknologi yang (mungkin) adalah tempat disemainya ‘bibit-bibit’ pemikiran Open-Source, akibat hakikatnya yang lintas-ruang, telah kemudian membuka pintu menuju kepada berbagai ruang lain, dengan akselerasi yang begitu cepat dan seolah tak terhentikan: ruang penerbitan, ruang informasi, ruang ekonomi, ruang politik, serta ruang-ruang lain yang seolah tanpa batas. Thomas Friedman melukiskannya sebagai:
“It's called the open-source movement, and it involves thousands of people around the world coming together online to collaborate in writing everything from their own software to their own operating systems to their own dictionary to their own recipe for cola-building always from the bottom up rather than accepting formats or content imposed by corporate hierarchies from the top down”.

• Close Encounters Of The Free Kind:
The Open Source/Free Software Movement
Hal yang paling menarik dari semangat Open Software adalah pola yang memungkinkan sebuah perangkat lunak ditulis secara kolektif oleh banyak pihak. Perangkat lunak tersebut akan dapat menjadi lebih sempurna sebab pengembangan kolektif berarti lebih banyaknya ide yang dapat diimplementasikan sesuai dengan kebutuhan publik pengguna, serta kesalahan-kesalahan dan kekurangan-kekurangannya dapat lebih mudah ditemukan dengan hadirnya lebih banyak ‘mata’. Hal-hal diatas kemudian menempatkan sebuah perangkat lunak menjadi lebih dari sekedar ‘benda mati’, namun menjadi organisma yang ‘hidup’ dan berproses. Dalam sejarah perkembangan perangkat lunak komputer, tercatat beberapa fakta tentang keberadaan ‘Open Source Spirit’, namun tonggak yang terpenting dipancangkan pada tahun 1984. Pada tahun itulah Richard Stallman memulai proyek GNU, sebagai bagian dari Free Software Foundation (FSF). Badan ini dimaksudkan untuk maintaning serta development perangkat lunak komputer yang menjadi public domain. Perlu diketahui bahwa pada umumnya usaha-usaha penulisan software (ya, perangkat lunak juga ditulis seperti sastra, namun tentu dengan ‘bahasa mesin’) bertujuan komersial. Jika kita menemui nama-nama Windows, Microsoft Office, Photoshop, Nero, dan lain-lain dalam kegiatan komputasi sehari-hari, itulah contoh-contoh perangkat lunak yang ditujukan untuk tujuan komersil atau proprietary. Namun, tidak semua programer berorientasi komersial dalam menulis setiap perangkat lunak karya mereka. Banyak programer yang kemudian mendeklarasikan karyanya, baik sebagian atau seluruhnya, sebagai ‘free software’ sehingga menjadi bebas digunakan, bahkan menjadi milik publik. Beberapa turunan dari perangkat lunak yang memiliki karakter ‘terbuka’, antara lain yang mungkin anda kenal adalah Linux, OpenOffice, Adobe Reader, serta Mozilla Firefox. Karakter dari perangkat lunak yang ‘free’ adalah bebas didistribusikan dan digunakan, serta terbuka untuk pengembangan lanjut oleh pihak lain, dengan tentunya pengakuan terhadap pencipta awal. Walau kemudian terdapat pembedaan antara perangkat lunak yang ‘bebas di kembangkan’ dengan yang ‘bebas digunakan’, secara umum keduanya masih menyandang semangat yang sama.
Pola ‘Open’ kemudian telah diadopsi kedalam berbagai ruang. Dalam dunia penulisan dan penerbitan muncul sistem Open Publication, yang adalah metode publikasi dimana sebuah karya tulis dapat dibaca, dimodifikasi, di-copy, dan disebarluaskan secara bebas. Buku Sekolah Elektronik keluaran Depdiknas adalah sebuah contoh untuk ini. Kehadiran ‘Open’ dalam dunia penulisan menyebabkan transfer ide dan ilmu menjadi lebih terbuka dan tanpa batas. Ini sesuai dengan sebuah jargon dalam dunia Open Source yaitu “Setiap orang berhak tau tentang segala sesuatu yang ada”. Ini membawa kita pada Wiki. Tentang Wiki, sebenarnya itu sendiri justru sangat berhubungan dengan tau-tidaknya seseorang terhadap sesuatu. Wiki sendiri memang diperuntukkan sebagai sistem penyedia informasi yang terbuka, baik untuk penyediaan konten, maupun editing. Untuk lebih jelasnya, sebagai awalan, ada tiga Wiki yang perlu disentil:
Wiki pertama: Wiki atau dikenal juga sebagai Ward’s Wiki. Sejatinya, ini adalah sebuah system perangkat lunak pada server jaringan komputer yang berbasis pada falsafah ‘Open Editing’, yang berarti bahwa konten dalam database sebuah situs dapat dikelola secara bersama oleh banyak orang. ‘Wiki’ sendiri katanya berasal dari bahasa Hawaii yang kurang-lebihnya berarti ‘cepat’, demikian menurut penjelasan dari sebuah situs di internet yang juga menuliskan nama Ward Cunningham sebagai founder dari konsep ini. Wiki, secara hakikat, memiliki tendensi positif terhadap Open Society, kebebasan, serta anti-elitisme.
Wiki kedua: Wikipedia. Ini adalah sebuah ensiklopedia bebas on-line yang dikelola oleh Wikimedia Foundation. System database Wikipedia juga berfondasi pada Ward’s Wiki. Semenjak diluncurkan pada tahun 2001 oleh Jimmy Wales dan Larry Sanger, saat ini telah ada lebih dari 12 juta artikel dalam 262 ragam bahasa dalam database Wikipedia. Yang amat menarik, seluruh artikel tersebut ditulis secara kolaboratif oleh banyak orang dari seluruh dunia dan hampir semua artikel dapat secara bebas diedit oleh siapa saja. Ada banyak situs yang menyediakan layanan serupa Wikipedia, namun saat ini situs Wikipedia adalah satu dari sepuluh situs yang paling popular di jagad web dan satu-satunya yang tidak berbayar. Secara teoritis, jika memuat iklan web, Wikipedia seharusnya dapat mendulang lebih dari $580 juta dollar pada tahun 2006 saja, demikian sebuah riset. Wikipedia bersikeras untuk tetap nonprofit.
Wiki ketiga: Wikinomics. Konsep Wiki yang telah mulai ‘berpengapa’ dalam dunia maya semenjak tahun 1995 dan terus berkembang hingga kini, telah menciptakan sebuah ‘kult’ dan ‘kultur’ tersendiri. Banyak aspek disiplin ilmu lain yang akhirnya diramu dengan konsep Wiki. Salah satu yang paling popular saat ini adalah Wikinomics, sebuah terma yang dapat berarti kolaborasi ekstensif partisipatif dari pengguna pasar. Konsep yang dibukukan pertama oleh Don Tapscott dan Anthony D. Williams pada tahun 2006 ini telah menggonjang-ganjingkan dunia kajian ekonomi semenjak itu. Openess, Peering, Sharing dan Acting Globally adalah pilar-pilar utama dari Wikinomia.
Begitulah, Open Source adalah sebuah fenomena terkini yang sedang merevolusi mindset global dalam banyak hal. Ide dan falsafah ‘Open’ telah merangsek masuk ke berbagai sisi kehidupan hari ini dan memberi makna baru terhadap banyak hal, kemudian memberikan pendekatan alternatif terhadap banyak permasalahan yang telah lama tanpa pemecahan.

• Pembangunan Kebudayaan ala ‘elit’ bukan satu-satunya jalan
Saya tidak akan memaparkan bagaimana hubungan sebuah sistem yang berkembang dari dunia teknologi dengan membangun peradaban Minahasa. Hanya ada beberapa kalimat yang saya ingin tuliskan dibagian akhir tulisan ini. Kebanyakan justru bukan kata-kata saya sendiri:

“Membangun Kebudayaan Minahasa tidak mungkin dan tidak dapat diterima jika hanya dilakukan oleh satu pribadi, satu kelompok, dan dari sumbu saja”. - Frisky Tandaju, Paramedis, dalam sebuah dialog.

“Saya tidak banyak membaca buku. Itu kekurangan yang sedang saya coba hilangkan. Namun, saya bisa menggarap pentas teater. Saya akan selalu berusaha menyisipkan ke-Minahasa-an dalam karya-karya saya”. – Sylvester ‘Ompi’ Setligt, Peteater, sebuah celutukan.

“Membangun Minahasa? Sayapun ingin! Biarpun saya tidak terlalu paham apa itu kebudayaan, saya putra Minahasa!”. – Marcell Manembu, Teknisi Komputer, percakapan disela-sela bermain game.

“Saya tidak setuju jika ada yang berkata bahwa kesenian, contohnya Maengket, di seragamkan dan distandarisasi. Apalagi ada yang mengklaim sebagai yang ‘asli’. Sudah dari dulu kesenian Minahasa beragam”. – Paul Kondoy, Petani, rekaman sebuah wawancara.

“Di kampung saya tidak ada Maengket. Tidak ada yang berbicara dalam bahasa daerah. Tidak ada yang berbau budaya Minahasa. Tetapi kami Minahasa”. – Sweetly Lahope, Hacker cum Musisi, dalam sebuah esay.

“Semua usaha membangun Kebudayaan Minahasa dengan metode elitis-politis telah terbukti minus impact atau gagal sama sekali. Tidak ada yang betul-betul masuk sampai pada inti permasalahan kebudayaan itu sendiri, apalagi kemudian memberi solusi yang benar-benar applicable!”. - Denni Pinontoan, Teolog, dalam sebuah diskusi.

“Satu atau seribu kata, semua dialog yang membicarakan Minahasa, negatif atau positif, adalah sumbangan terhadap peradaban kita”.
- Greenhill Weol, Sastrawan, petikan komen di sebuah blog internet.

“_________________________________________________________________________________”. – (Taruh kata-kata anda diatas dan nama anda di sini).

Tulisan ini adalah sebuah tulisan belum selesai.

*Tulisan ini kebetulan ditulis oleh seorang sastrawan. Selanjutnya, perlu diketahui juga bahwa penulis tulisan ini kebetulan memiliki ketertarikan kepada hal-hal yang berbau sains dan teknologi. Penulis juga kebetulan tergabung di Mawale Movement, sebuah gerakan kolektif nirstruktur yang bertujuan membagikan kesadaran identitas, mengembangkan kreativitas, serta menekankan pentingnya kontekstualitas dalam membangun peradaban Utara Celebes. Penulis kebetulan memiliki motto: everything happens for a reason.

Minahasa dalam Dialektika

Oleh Denni Pinontoan

Minahasa, Tou dan Tanah Adatnya, ternyata tidak harus dilihat sebagai sesuatu yang statis. Ia dinamis menantang dan merespon zaman. Telah banyak fase zaman yang ia lalui. Zaman kunonya, yang oleh bangsa Barat sebut sebagai bangsa alifuru, telah meninggalkan identitas ke-Minahasa-an dalam ke-Indonesia-an. Meski, banyak di antaranya yang kini tinggal spirit serta situs-situs peradaban, misalnya waruga, rumah panggung, juga keseniannya, maengket, cakalele, mazani dan musik bambu. Spiritnya, yaitu egaliter, demokratis dan mapalus. Mulai kapan hal-hal itu menjadi ciri Minahasa, kita tidak tahu.

Fase zaman yang kemudian adalah ketika kekristenan dan peradaban Barat masuk dalam waktu yang bersamaan. Di satu pihak, perjumpaan antara ke-Minahasa-an dan kekristenan yang kebarat-baratan itu telah membawa sejumlah kemajuan, misalnya melalui dibangunya sekolah-sekolah untuk Tou Minahasa juga sejumlah nilai kekristenan yang membawa banyak pengaruh positif bagi kehidupan Tou Minahasa. Meski harus jujur diakui, bahwa, karena perjumpaan itu, banyak nilai serta spirit Tou Minahasa yang harus bergeser.

Minahasa dalam Indonesia adalah faze zaman berikut. Sebagai sebuah bangsa, Minahasa dengan kerelaannya juga karena kesamaan nasib dengan bangsa-bangsa lain di Nusantara, akhirnya telah turut memberikan kontribusi yang luar biasa besarnya bagi lahirnya sebuah negara berdaulat yang bernama Indonesia. Dan sejak Pancasila dan UUD 1945 ditetapkan sebagai dasar hukum di Indonesia, Minahasa akhirnya menjadi bagian dari negara Indonesia yang siap tunduk dan mengikuti segala aturan, hukum dan perundang-undangan Indonesia. Jika demikian, mestinya Minahasa, tidak harus dinilai kurang sahnya sebagai pemilik negara ini dibanding bangsa-bangsa yang lain. Paham kebangsaan Minahasa terhadap ke-Indonesia-an harus dilihat sebagai bentuk pengabdian Tou dan Tanah Adatnya terhadap Negara Indonesia dengan syarat bahwa Minahasa mempunyai identitasnya sendiri yang tidak harus dicampur baur dengan bangsa yang lain di Indonesia. Prinsip Bhineka Tunggal Ika, bahkan ikut mensahkan syarat itu. Sehingga mestinya, negara ini juga harus mempertimbangkan itu dalam menjalankan sistem pemerintahannya, khususnya soal bagaimana memberlakukan desentralisasi kekuasaan.

Minahasa dalam Indonesia sebenarnya juga masih terbagi pada sejumlah sub fase zaman, misalnya zaman Orde Lama, pergolakan Permesta, Orde Baru dengan rezim Soeharto yang berkuasa kurang lebih 32 tahun dan zaman reformasi. Sub-sub fase zaman ini, barangkali telah membawa Minahasa dalam suatu dilema kebudayaan. Tapi, karena zaman memang sejatinya bergerak, maka dalam banyak hal Minahasa sebenarnya telah menjalankan kodratnya untuk berdialektika dengan “kebaikan” dan banyak juga dengan “kekonyolan”, serta “kegilaan” zaman.

Persoalan kemudian ketika terjadi perjumpaan dengan proses zaman yang terkadang ganas dan liar, adalah soal menentukan mana yang disebut Budaya Minahasa dan mana yang tidak. Apakah, budaya Minahasa harus ditarik dari zaman Minahasa kuno dengan segala ritual dan spiritnya atau Minahasa kontemporer (sekarang) yang merupakan hasil dialektika dengan zaman yang terus berproses itu? Zaman yang dimaksud, tentu soal peristiwa, ruang dan waktu, juga terutama nilai/spirit?

Menurut saya, inilah dilema kita. Ini menjadi dilema, karena di satu pihak yang kita sebut budaya hanyalah adat istiadat, sistem sosial, politik, ekonomi dan kepercayaan, spirit, komunikasi dan lain-lain di masa lampau, di pihak lain, budaya mestinya diartikan sebagai sistem nilai yang dinamis. Ia dihasilkan oleh manusia dalam suatu kontemplasi dan refleksi juga interaksi dengan persoalan, pergumulan dan kebutuhan konteks. Budaya, adalah sistem nilai, yang kemudian mendasari sistem sosial, politik, ekonomi dan kepercayaan juga komunikasi. Ia kemudian antara lain tampak dalam banyak simbol. Dan mestinya nilai lebih dulu ada dari simbol.

Batasan saya tentang yang disebut budaya adalah seperti itu. Memang, sampai saat ini telah begitu banyak definisi yang dibuat orang tentang budaya itu. Sebut saja, definisi menurut EB Taylor yang menyatakan bahwa budaya adalah keseluruhan hal yang kompleks termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan serta kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat (Mu'adz D'Fahmi, “’Cultural Studies’ sebagai Praktik Intelektual” dalam Kompas, 19 Oktober 2002).

Sementara menurut Clifford Geertz, budaya hanyalah serangkaian cerita mengenai diri kita yang kita ceritakan pada diri kita sendiri. Sedangkan Raymond Williams, salah satu bapak pendiri cultural studies, mengatakan, bahwa budaya meliputi organisasi produksi, struktur keluarga, struktur lembaga yang mengekspresikan atau mengatur hubungan sosial, bentuk-bentuk komunikasi khas anggota masyarakat (Mu'adz D'Fahmi).

Dari definisi-definisi itu kita tidak menemukan adanya kata “masa lampau” sebagai acuan waktu dari sebuah budaya. Sebaliknya, juga tidak menyebut kekinian sebagai acuan waktunya. Barangkali, budaya adalah dialetika antara nilai dan spirit, sedikit dengan simbol masa lampau dengan kekinian dengan segala persoalan, pergumulan dan kebutuhan manusianya. Dengan demikian, zaman lampau harus dilihat sebagai sebuah proses, yang fungsinya antara lain memberi batasan pada sebuah bangsa. Karena ia dilihat sebagai sebuah proses, maka zaman lampau tidak harus kemudian menutup diri atau berdiam diri dengan kodrat waktu. Waktu telah dikodratkan untuk terus bergerak. Sehingga, masa lampau suatu bangsa dengan segala nilai, spirit dan hasil-hasil peradabannya akhirnya harus berdialektika dengan proses zaman yang kemudian. Kita tidak mempunyai data yang akurat, siapa penghuni tanah Minahasa sebelum didiami oleh Toar dan Lumimuut dan keturunannya. Kita juga tidak tahu dengan jelas, sebelum memakai waruga, tonaas-tonaas atau leluhur kita dikubur dengan cara seperti itu. Atau sejak kapan tarian maengket menjadi tarian khas Minahasa. Atau, aslinya cakalele seperti apa. Artinya, masa lampau orang Minahasa yang sempat dicatat ternyata masih ada masa yang lebih lampau lagi. Dan bila dirunut ke belakang lagi, dunia ini barangkali memang begitu. Kita tidak bisa menentukan sampai di mana kelampauan dunia kita, sama halnya ketidakmungkinan kita menentukan keakanan dunia ini.

Kalau budaya adalah soal masa lampau, terutama spirit dan nilainya, masa sekarang dengan segala pergumulan, persoalan dan dan kebutuhannnya dan masa depan dengan segala harapan kehidupannya, maka Minahasa adalah sebuah spirit, nilai yang dinamis bersyarat. Syaratnya, bahwa Minahasa, Tou dan Tanah Adatnya dalam prosesnya yang dinamis itu tak harus menjadi relatif dengan segala tawaran zaman yang menggoda. Minahasa, harus berdiri sama tegak dan sama besar dengan yang lain meski dalam usaha itu, Minahasa tidak harus bernostalgia sampai harus terlena dengan masa lampau. Minahasa bukan cuma soal waruga, cakalele, maengket, atau siapa yang asli Minahasa dan bukan. Atau lebih tepatnya, Minahasa tidak sama dengan masa lampau, tidak dengan masa sekarang dan juga bukan masa depan. Juga, Minahasa tidak sama dengan Kristen. Minahasa adalah dialetika antara masa lampau dengan masa sekarang untuk masa depan. Dan dialektika bukanlah perjuangan penundukkan, dominasi juga bukan kompromi, melainkan usaha dasar nalar dan jiwa dalam ruang dan waktu (sejarah) manusia untuk perbaikan, peningkatan dan perkembangan kualitas dan kuantitas hidup. Sehingga, kerja intepretasi dan dekonstruksi terhadap nilai dan spirit masa lampau juga untuk sebuah konstruksi Minahasa masa depan adalah penting untuk usaha meminahasakan kembali Tou dan Tanah Minahasa. Dengan demikian, barangkali kita sedang melakukan aufklarung ala kita.


Tomohon, 1 Mei 2006
Tulisan ini pernah dipubliksikan pada Harian Komentar 14 September 2006 dan menjadi salah satu artikel dalam Denni Pinontoan, “Minahasa dalam Indonesia”, (Tomohon: Pasini, 2007)